Sunday, September 2, 2012

Andalgalronis

Andalgalronis


Sebuah penelitian baru mengungkapkan burung raksasa pemakan daging ( karnivora ) , Dengan berat 40,8 kilogram dan tinggi tiga meter, burung yang hidup di Amerika selatan ini membunuh mangsanya dengan sekali pukul dengan menggunakan tulang kepala dan paruhnya. Burung ini meluncurkan serangan presisi pada mangsa mereka sebelum mundur dan kemudian menyerang lagi.

Meski tidak bisa terbang seperti anggota keluarga burung yang lain, gambaran tentang Andalgalornis dari keluarga besar Phorusrhacids itu tetap menyeramkan. Bukan hanya karena kepalanya yang sebesar kepala kuda dan paruhnya yang besar dan tajam, tetapi juga karena pukulan kepala dan paruhnya mematikan. Paruhnya yang mirip paruh burung elang ini setajam kapak .


Burung-burung, bagian dari keluarga Phorusrhacidae / Phorusrhacids, diperkirakan telah meninggal di sekitar tahun 2.5million lalu.


Penelitian ini didanai oleh US National Science Foundation, Research Australia Council, Australia dan Pasifik Science Foundation dan Dana Nasional untuk Penelitian Ilmiah dan Teknologi Argentina.


Top Predator : Andalgarlornis yang mampu berjalan pada kecepatan hingga 30 m/jam dan bisa membelah tengkorak binatang yang lebih kecil dengan paruh mereka .

Nenek moyang burung-burung raksasa seperti Andalgalornis mulai menguasai Amerika Selatan kira-kira 60 juta tahun yang lalu dan berevolusi menjadi paling tidak 18 jenis. Pada era yang sama hidup juga binatang-binatang buas berukuran sama. Kalangan paleontologi menduga burung menjadi berukuran raksasa dengan kepala dan paruh besar serta tajam kemungkinan untuk mengisi ketidakmampuan mereka terbang.

Semua jenis burung raksasa tiba-tiba menghilang dan punah sekitar 2-3 juta tahun yang lalu, bertepatan ketika Amerika Selatan dan Amerika Utara bertubrukan. Karena telah punah, perilaku burung-burung pemangsa seperti Andalgalornis masih tetap misteri.

Rentan Patah

Hasil analisis tim Witmer, seperti diberitakan Associated Press (AP), menunjukkan paruh Andalgalornis ada kelemahannya. Paruhnya yang cekung ternyata mudah patah jika Andalgalornis mengguncang-guncangkan mangsanya menyamping. Oleh karena itu, Andalgalornis kerap menyerang mangsanya dari arah depan.

”Mereka harus berhati-hati karena mangsanya pasti memberontak. Jika tidak kuat mengendalikan mangsa, paruhnya bisa patah,” kata pemimpin tim penelitian Witmer dan Degrange. Andalgalornis termasuk salah satu dari sekian banyak burung raksasa ganas yang pernah hidup di Amerika Selatan.
Selain itu ada satu jenis burung serupa bernama Titanis yang pernah hidup di Amerika Utara, tetapi entah mengapa tiba-tiba menghilang. ”Amerika Selatan dulu tempat yang sangat aneh dan berbeda dari sekarang. Pada era dinosaurus kawasan itu masih kepulauan. Sudah terjadi banyak peristiwa evolusi,” kata Witmer.


Sistem perlindungan diri dengan paruh yang besar dan tajam dalam keluarga Phorusrhacids dinilai efektif selama puluhan juta tahun karena burung-burung raksasa hidup di zaman yang keras. Meski dinosaurus telah punah, kata Witner, perilaku burung-burung pemangsa raksasa ini seperti dinosaurus. ”Dibandingkan dengan binatang-binatang yang hidup pada era dinosaurus, ukuran burung raksasa masih lebih kecil. Tetapi perilakunya seperti Tyrannosaurus rex,” ujarnya.

Gaya serangan

Meski tidak bisa terbang seperti anggota keluarga burung yang lain, gambaran tentang Andalgalornis dari keluarga besar Phorusrhacids itu tetap menyeramkan. Bukan hanya karena kepalanya yang sebesar kepala kuda dan paruhnya yang besar dan tajam, tetapi juga karena pukulan kepala dan paruhnya mematikan. Paruhnya yang mirip paruh burung elang ini setajam kapak.

Hasil studi terbaru yang dilaporkan jurnal PLoS One dan diberitakan situs National Geographic News, Kamis (19/8), menunjukkan, Andalgalornis memiliki gaya dan taktik bertarung persis Muhammad Ali. Saat berhadapan dengan mangsanya, burung ini agresif menyerang dengan pukulan-pukulan tajam dan mematikan.

”Burung ini menjaga jarak dan terus bergerak maju mundur di sekitar mangsanya sambil melancarkan pukulan-pukulan seperti petinju. Kalau bisa, mangsanya ditelan bulat-bulat. Jika tidak bisa, mangsanya dilumat perlahan-lahan dengan otot lehernya yang kuat,” kata Lawrence Witmer, ahli paleontologi dari Ohio University College of Osteopathic Medicine yang memimpin penelitian ini.

Frederico J. Degrange, dari Museo de La Plata di Argentina, mengatakan bahwa sementara gigitannya tidak akan sekuat yang dari mamalia berukuran sama, itu akan memberikan kompensasi dengan menggunakan paruhnya yang seperti kapak.