Thursday, December 21, 2006

Berburu Burung Hantu dan Raja Udang di Tangkoko (lanjutan)

Hari semakin gelap dan para penghuni malam mulai bermunculan memberikan sinyal akan kehadiran mereka. Saya melirik jam tangan saya, sudah jam 18:20. Setelah mendirikan tenda, kemudian meneguk kopi hangat dan mejejali perut ini dengan beberapa potong crackers, kami pun bersiap dengan peralatan "berburu" burung malam (teropong dan senter). Si Uchu dan Nick bahkan sudah melengkapai peralatan mereka dengan alat perekam suara burung (tape, microphone, dan speaker).

Adalah Eurostopodus macrotis, jenis burung yang pertama kali menyapa kami dengan suaranya yang khas. Sulit terlihat, karena memang suaranya terdengan jauh dari lembah. Menyusul kemudian suara Celepuk Sulawesi Otus manadensis. Nah kalo yang ini suaranya dekat saja. Kami kemudian memancingnya dengan siulan (meniru suaranya), yang sesekali diselingi dengan memainkan rekaman suaranya. Lama-kelamaan burung itu pun mendekat, hingga akhirnya terlihat. Tak perlu beranjak jauh dari lokasi camp, dari sisi hutan yang lain terdengar suara yang lantang. Suaranya yang lantang itu cukup mengejutkan kami yang sedang asyik diam mengamati Celepuk Sulawesi. Cukup dekat memang, sekitar 10 meter dari tempat kami berdiri. Spontan, kamipun lantas mengendap-ngendap mengahampiri tempat darimana suara itu berasal. Nick dan Uchu kemudian merekam suaranya, yang lantas memainkannya kembali untuk memancing dia. Dari suaranya tersebut, kami mengenal siapa pemilik suara itu, yang tidak lain adalah Ninox ochracea. Beberapa kali Si burung bahkan memberikan iramanya yang khas (seperti suara burung Tekukur), seolah dia sudah mengerti bahwa keberadaannya sudah kami ketahui.

Sekarang, suara itu sudah berada diatas kepala kami. Namun sang pemilik suara belum juga kelihatan. Rindangnya pohon serta rapatnya tajuk membuat kami kesulitan untuk menemukannya, hingga akhirnya kamipun berlalu. Kata Nick,"Selalu ada alasan untuk kembali lagi".

Kami terus bergerak ke arah puncak Tangkoko. Jaraknya tinggal 1.5 km lagi, tapi jalannya sudah semakin terjal. Sesekali kami berhenti dan memainkan beberapa rekaman suara burung malam yang sudah kami punya. Berharap, barangkali saja ada yang mau merespon rekaman suara tersebut. Usman tak lupa pula mengambil koordinate posisi pengamatan kami dengan alat GPS. (Kalau ada yang belum tau apa itu GPS, bisa baca di sini).


Hujan gerimis sempat menghentikan langkah kami. Untunglah itu hanya berlangsung sesaat, dan tanpa meluluhkan semangat kami. Perjalanan pun kami lanjutkan hingga akhirnya kami berhenti di titik 5000. Puncak tinggalah 500 meter lagi, tapi kaki ini seolah berat untuk melangkah. Malam semakin dingin, dan terasa sepi. Yang ada hanyalah bunyi-bunyian serangga malam. Itupun tak seramai biasanya. Barangkali gerimis tadi telah membuat mereka memilih untuk diam dan beristirahat.



Sambil beristirahat, Nick mencoba memainkan
rekaman suara burung malam yang berhasil direkamnya dari Pulau Sumatera. Tiba-tiba saja dari kejauhan terdengar suara balasan. Ya, suara itu merespon salah satu rekaman suara burung malam tadi. Entah suara dari jenis burung mana yang diresponnya, saya tak ingat lagi. Namun yang pasti, burung yang merespon suara rekaman tadi adalah Celepuk Sulawesi. Tak tanggung-tanggung, ada 3 individu yang merespon. Rekaman terus dimainkan berulang-ulang sampai akhirnya salah satu dari ketiganya terlihat oleh kami. Saya pun berhasil mengabadikannya, meskipun dalam kondisi yang buruk (sinar hanya mengamndalkan cahaya senter ditambah lagi dengan kabut).

Pukul 22.30, kami sepakat untuk turun. Dan dalam perjalanan kembali ke camp, kami diguyur hujan deras. Tiba di camp pada pukul 00.00 dengan pakaian yang basah kuyup. Meskipun demikian, kami tetap merasa senang. Bagi saya pribadi, perjalanan ini sangat saya nikmati. Rasanya sudah cukup lama tidak merasakan guyuran hujan lebat dimalam hari. hmmmm...nikamati sekali.