Monday, November 27, 2006

Berburu Burung Hantu dan Raja Udang di Tangkoko

Tangkoko memang selalu menarik dan ideal untuk mengamati burung, khususnya di daerah Sulawesi bagian Utara. Selain mudah dijangkau, di sana juga terdapat beberapa jenis burung endemik Sulawesi yang relatif mudah dijumpai.

Minggu lalu, tepatnya hari Jumat dan Sabtu (24-25 Nopember 2006), saya bersama-sama dengan "penggila burung" lainnya: Nick, Uchu, Usman, dan Antri (tiga nama yang disebutkan di awal juga tergabung dalam SBI-Info, sedangkan Antri adalah anggota Kelompok Guide Lokal bernama KONTAK) berkesempatan menyambangi lagi "surga" bagi pengamat burung ini.

Kunjungan kami kali bertujuan untuk "berburu" burung hantu dan raja udang Cekakak-hutan dada-sisik Actenoides princeps, tapi bukan berarti jenis lainnya pun lantas diabaikan. Bagi saya, kesempatan ini juga saya manfaatkan untuk berburu foto burung (Beberapa hasilnya seperti foto-foto Raja Udang yang ada di samping ini).

Jumat siang, kami tiba di POS 1, pintu masuk ke Cagar Alam (CA) Tangkoko. Ada informasi baru sehubungan dengan tarif masuk dan guiding untuk kawasan Tangkoko yang telah disepakati oleh pengelola kawasan (BKSDA Sulut) dan Kelompok Guide (KONTAK). Untuk trip disekitar Pos 3 (ke tempat Tarsius, dan Berigin Lubang) tarifnya adalah Rp.80,000 per trip, sedangkan trip ke Puncak Tangkoko, tarifnya adalah Rp.200,000 per trip. Tarif tersebut sudah termasuk biaya retribusi masuk dan guiding fee. Dari tarif tersebut juga sudah disisihkan biaya untuk mendukung patroli rutin di kawasan CA. Tangkoko.

Setelah segala urusan administrasi selesai, sekitar pukul 15:00, kami mulai bergerak ke arah Puncak Tangkoko. Baru saja kaki ini melangkah, kami langsung disambut oleh Cekakak-hutan tunggir-hijau Actenoides monachus yang sedang bertengger tidak jauh dari jalan. Jenis ini merupakan salah satu jenis Raja Udang endemik Sulawesi dan umum dijumpai di hutan-hutan dataran rendah. Setelah berjalan sekitar 500 meter ke dalam hutan, kembali kami berpapasan dengan jenis raja udang lainnya yaitu Raja-udang pipi-ungu Cittura cyanotis. Semakim jauh ke dalam, pada point 1250 meter dari arah pantai, seekor raja udang kecil Udang-merah Sulawesi Ceyx fallax trelihat sedang duduk di cabang pohon, tidak jauh dari jalur jalan ke puncak. "Tangkoko memang surga bagi raja udang di Sulawesi", batin saya. Saya pun jadi teringat akan tulisan tentang Surga Raja Udang disini.

Sepanjang sisa perjalanan ke puncak, burung Julang Sulawesi Rhyticeros cassidix selalu terlihat terbang di atas kanopi pohon, seolah mengawal perjalanan kami sambil mempertontonkan manuver-manuver khas mereka. Tidak ketinggalan pula nyanyian burung-burung endemik Sulawesi lainnya, seperti, Cabai panggul-kuning Dicaeum aurelimbatum, Cabai panggul-kelabu D. celebicum, Raja-perling Sulawesi Basilornis celebensis, Blibong pendeta Streptocotta albicollis, Pelatuk-kelabu Sulawesi Mulleripicis fulvus, dan Kring-kring dada-kuning Prioniturus flavicans. Sempat juga terlihat seekor Paok hijau Pitta sordida sedang mencari makan sekitar4 meter dari jalur jalan. Akhirnya, pengamatan sore ini pun harus kami akhiri pada pukul 17:45, begitu kami tiba di titik 4000 meter. Disinilah tempat kami bermalam. Kami pun langsung sibuk mempersiapkan tenda dan makan malam, sebelum memulai perburuan mencari burung hantu.

Bersambung .

Tuesday, November 14, 2006

Gelatik jawa

Burung ini, sebenarnya bukanlah burung asli Sulawesi. Kemungkinan mereka diintroduksi (dibawa masuk) di Sulawesi dan juga di NTB.

Dari namanya, sudah pasti kita dapat menduga dari mana asalnya, Pulau Jawa. Memang benar, aslinya, jenis ini berasal dari pulau Jawa. Tapi ironis, mereka justru hampir punah di tanah aslinya. Penangkapan besar-besaran dengan maksud untuk diperdagangkan, mungkin menjadi penyebab utama menurunnya populasi mereka di Pulau Jawa.

Saat ini, status keterancaman Gelatik jawa dikategorikan dalam Vulnerable (Rentan). Anda bisa membaca informasi selengkapnya di sini. Dan barangkali karena alasan itulah, sebuah tim ekspedisi, saat ini sedang berupaya untuk mempelajari dan menguak bagaimana status mereka terkini.

Lantas, mengapa saya menulis tentang si Gelatik jawa ini? tidak lain karena mereka ternyata ada (berkeliaran) di sekitar rumah saya. Itupun saya tahu setelah istri saya memberitahukannya beberapa hari yang lalu (beruntunglah saya punya istri yang juga tertarik dengan dunia burung (ornithology)) . Dan karena itulah, hari ini, saya ingin sekali sekali untuk mendapatkan fotonya.

Beruntung. Pagi ini, empat individu terlihat sedang mencari makan di areal kosong di depan rumah. Sesekali mereka terbang ke jalan dan kemudian menghilang lagi dan berbaur bersama sekelompok Bondol rawa Lonchura malacca. Namun yang lebih beruntung lagi, saya berhasil mengabadikan mereka dengan kamera kesayangan saya.



Perjumpaan lainnya dengan si Gelatik jawa ini bisa Anda baca di sini.

Lewat postingan ini pula, saya ingan mengucapkan SELAMAT BERJUANG buat Tim Ekspedisi yang di komandani langsung olah Kang Iwan Londo. Sukses untuk Ekspedisinya.

Monday, November 6, 2006

Hasil Buruan

Kali ini, saya bagi untuk Anda foto-foto burung hasil buruan di sekitar rumah.

1. Bondol peking (Lonchura punctulata)



2. Burung gereja-erasia (Passer monthanus)



3. Kacamata-dahi hitam (Zoosterops atrifrons)


4. Burung-madu sriganti (Nectarinia jugularis)


5. Mandar-padi zebra (Galirallus torquatus)

Sarang


Oleh-oleh dari sekitar rumah. Ternyata salah satu pohon mangga yang ada di areal kosong di depan rumah tempat tinggal saya menjadi favorit bagi beberapa jenis burung kecil, seperti: Burung madu, Cabai, burung Gereja, Kacamata, serta Bondol.
Apa gerangan yang membuat burung-burung ini menyukai pohon mangga tersebut? Buah? bukankah burung-burung itu suka berkerumun di pohon yang banyak bunga dan buahnya? ternyata tidak. Bahkan selama pengamatan saya, pohon mangga ini belum pernah berbunga, apalagi berbuah. Lantas apa yang menarik burung-burung tersebut lalu lalang, keluar masuk dari pohon mangga tersebut? Entahlah. Hal itulah yang membawa langkah saya untuk mengamati dari dekat, ada apa dengan pohon mangga tersebut?
Perlahan-lahan sambil mengendap-ngendap, saya menghampiri pohon mangga tersebut. Beruntung itu bukan di halaman tetangga, kalau iya, tamatlah saya digebukin warga karena dianggap pencuri.
Di dekat batu besar, di bawah pohon mangga tersebut saya berhenti, intip sana, intip sini, sesekali saya gunakan jendela intip kamera untuk melihat benda yang agak jauh, hingga akhirnya... ketemu.


Ya, saya melihat sarang burung, tidak jauh di atas kepala saya (sekitar 3 meter dari tanah), diantara rimbunan daun, diujung cabang pertama. Dari bentuknya serta susunan material sarang tersebut, saya berkesimpulan ini bukanlah sarang burung madu dan juga bukan sarang Punai (seperti yang ini). Dari pengamatan saya, sarang tersebut tersusun dari dedaunan kering (yang sudah tercabik-cabik), rumput-rumput kering (seperti alang-alang) dan ada juga bahan seperti kapas (tapi bukan kapas), mungkin bunga alang-alang. Sarang itu pun tidak digantung di cabang atau ranting (layaknya sarang burung madu), akan tetapi diletakkan dengan rapi di antara ranting-ranting pohon. Dari bawah, Saya coba mencari lubang masuk ke sarang tersebut, tapi gagal. Tampaknya sebagian besar sarang tertutup, dengan pintu (lubang masuk) pada salah satu sisinya.

Lantas, milik jenis burung manakah sarang misterius ini?

Saat mengamati sarang tersebut, tiba-tiba terdengar beberapa ekor burung datang dan hinggap pada sisi lain pohon mangga tersebut. Saya pun kembali bersembunyi di balik batu besar dan berharap diantara mereka adalah pemilik sarang "misterius" ini.
Tak berapa lama kemudian, beberapa ekor burung mendekat ke sarang. Sambil menahan nafas, Saya mengintip dari balik batu dengan kamera yang siap di bidik, dan lalu... dapat.

munia

Dari balik jendela intip kamera, saya berhasil mengidentifikasi seekor burung kerukuran kecil (kira-kira 10 cm), paruh abu-abu-keputihan, bagian atas coklat, bagian bawah putih bersisik gelap. Yap, tidak salah lagi, itulah Bondol peking Lonchura punctulata. Salah satu jenis yang umum di jumpai di habitat padang ilalang dan semak belukar. Dengan kamera di tangan, saya lantas mengabadikan beberapa momen dari si Bondol peking. Hingga mereka pergi meninggalkan sarangnya untuk mengambil material lainnya yang tertinggal.

Selesai? ternyata belum. Setelah bangkit dari balik batu, saya mengitari pohon mangga tersebut. Dan kembali saya berhasil menemukan satu lagi sarang burung. Kali ini di cabang tertinggi dari pohon mangga.

Sedikit berbeda dari sarang yang satunya, yang ini bagian atasnya terbuka. Jika dilihat dari bawah sarang ini tampak seperti wadah (mangkok). Bahan-bahannya sama seperti sarang milik si Bondol peking. Yang menarik perhatian adalah di sarang ini terdapat seekor anak burung yang masih belajar terbang. Sepertinya sang anak baru ditetaskan sebulan yang lalu (atau mungkin lebih). Satu hal yang pasti anak burung tersebut sudah memiliki bulu-bulu yang lengkap. Dari sang anak burung inilah, saya bisa memastikan kalo sarang yang satu ini adalah miliki dari burung Gereja. Misteri pohon mangga pun terpecahkan.

Wednesday, November 1, 2006

Mengamati Burung di Sekitar Rumah


Mengamati burung memang tidak harus ke hutan. Kita dapat melakukannya di mana saja, bahkan dipemukiman yang padat penghuninya sekalipun. Mengamati burung di sekitar rumah menjadi alternatif bagi mereka yang punya kesibukan, sehingga hampir tidak punya waktu untuk melakukan perjalanan ke hutan. Selain murah (karena tidak perlu transport, penginapan dan makanan/cemilan), kita pun masih dapat meluangkan waktu untuk melakukan pekerjaan rumah lainnya. Paling tidak, begitulah yang saya lakukan selama masa liburan Lebaran kemarin. Bahkan, saya cukup mengamati burung dari halaman rumah, masa iya sih? Saya bagi ceritanya untuk Anda.

Hampir setahun belakangan ini, Saya tinggal di kompleks perumahan di pinggiran Kota Manado (Anda sudah pasti dapat membayangkan bagaimana kondisi hunian di kompleks perumahan). Namun beruntung, di depan rumah terdapat areal kosong yang oleh pemiliknya biasanya ditanami tanaman setahun (seperti jagung dan kacang-kacangan). Beberapa bulan terakhir ini, areal seluas kurang lebih 3 ha ini sudah tidak ditanami lagi sehingga sebagia besar lahan tersebut telah ditutupi oleh rerumputan dan semak belukar. Pada bagian pinggiran lahan ditumbuhi rumpun-rumpun bambu dan beberapa pohon mangga.

Pada awal kepindahan kami ke tempat ini, saya telah memperhatikan kehadiran beberapa jenis burung yang umumnya dijumpai pada habitat seperti itu, seperti Kuntul Kerbau Bubulcus ibis, Bubut alang-alang Centropus bengalensis, dan Burung Gereja-Erasia Passer montanus. Khusus untuk Burung Gereja, Saya punya misi tersendiri yaitu untuk mendapatkan fotonya. Selain mereka mudah dijumpai, juga untuk belajar Photography burung dan menjajal "kehebatan" dari kamera Canon S3 IS dengan lensa 12X optical zoom yang sudah terpasang.

Belakangan ini (khususnya selama masa libur lebaran kemaren), setelah diperhatikan lebih seksama ternyata areal tersebut menjadi hunian bagi beberapa jenis burung lainnya. Pada lantai semak belukar, dapat kita jumpai jenis-jenis burung seperti Mandar-padi zebra Gallirallus torquatus, Mandar-padi kalung-kuning Gallirallus philippensis, dan Puyuh batu Coturnix chinensis. Di tajuk-tajuk semak belukar terlihat berseliweran jenis-jenis pemakan biji-bijian seperti Bondol rawa Lonchura malacca dan Bondol peking L. punctulata. Sementara pada salah satu pohon mangga yang ada menjadi tempat bagi sekelompok jenis burung madu seperti: Burung-madu hitam Nectarinia aspasia, Burung-madu sriganti N. jugularis, Burung-madu kelapa Anthreptes malacensis. Masih di pohon mangga yang sama juga terlihat Kacamata dahi-hitam Zoosterops atrifrons, Cabai panggul-kelabu Dicaeum celebicum dan Cabai panggul-kuning D. aureolimbatum. Pada sudut lain, di salah satu pohon mati bertengger dengan gagahnya Cekakak sungai Halcyon chloris dan sekelompok kecil (3-5 ekor) Cucak Kutilang Pycnonotus aurigaster. Jika kita menengadah ke langit, kita akan melihat Walet sapi Collocalia esculenta dan Layang-layang batu Hirundo tahitica beterbangan dengan sesekali memperlihatkan atraksi manuver ciri khas mereka. Pada waktu-waktu tertentu (seperti pada bulan Maret lalu) sering melintas sepasang Karakalo australia Scythrops novaehollandiae. Sesekali Elang Bondol Haliastur indus datang mengitari areal terbuka ini, berharap ada mangsa buruan yang sedang lengah. Pada waktu senja, di saat burung-burung lainnya mulai pulang ke peraduan, Taktarau besar Eurostopodus macrotis keluar memulai perburuannya dan pada saat malam semakin larut, kita dapat mendengar suara khas dari Serak Sulawesi Tyto rosenbergii seakan memberitahukan kepada para penghuni malam akan kehadirannya. Suara khasnya ini akan terdengar hingga tengah malam. Keesokan harinya, di saat matahari pagi belum menampakkan wajahnya dari ufuk Timur, nyanyian pagi Pelanduk sulawesi Trichastoma celebense mulai memecah keheningan pagi, yang kemudian disambut oleh siulan dan nyanyian jenis-jenis burung lainnya.

Ternyata, mengamati burung di sekitar rumah tempat tinggal kita punya keasyikan tersendiri. Bagaimana dengan Anda?